Pura Kebo Edan
Pura Kebo Edan terletak di Dusun Intaran, Desa Pejeng, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, Bali.Pada masa Kerajaan Bedahulu sistem religi Bali Kuna pada permulaan abad ke-8 masih dapat dibedakan antara Agama Buddha dan Hindu. Bagaimana sistem kepercayaan/Religi di Pura kebo Edan dan Pusering Jagat di mana sebagai pusat Kerajaan di Bali? Dari peninggalan-peninggalan yang terdapat di pura Kebo Edan Dan Pura Pusering Jagat menujukkan adanya pluralisme kepercayaan yaitu dibuktikan dengan adanya berbagai peninggalan yang menunjukkan bahwa di pura tersebut tidak hanya menganut satu kepercayaan tetapi lebih dari satu. Seperti di pura Pusering Jagat terdapat berbagai Arca antara lain Arca Ganesa, Arca Durga, serta Arca Bhairawa selain itu juga terdapat pelinggih sebagai pemujaan Ratu Purus. Dari penemuan tersebut diketahui bahwa Pura tersebut memiliki dua paham kepercayaan utama yaitu Siwa dan Bhairawa Tantra.
Perkembangan sistem religi yang ada di Bali, juga nampaknya dapat dijadikan acuan adanya toleransi masyarakat Bali terhadap masuknya ajaran tersebut, yang pada pembahasan sebelumnya kami sebut dengan Toleransi Ajaran dengan Institusi. Pemujaan asli masyarakat Bali masa lalu tetap diakomodir, walaupun pengaruh ajaran baru masuk, yang notabene memiliki perbedaan baik secara konsep maupun prakteknya. Hal tersebut dapat kita lihat dari adanya sistem pemujaan leluhur, yang sudah dilakukan oleh nenek moyang kita melalui media pemujaan seperti menhir dan punden berundak.
Namun jika kita berusaha untuk memahami lebih jauh, ternyata terdapat kesamaan visi antara konsep ajaran Hindu dengan kepercayaan asli nenek moyang Bali. Masyarakat Bali meyakini bahwa Gunung adalah tempat suci, tempat bersemayamnya para dewa, masyarakat Bali telah mengenal pemujaan kepada matahari, api, laut, dan juga penggunaan daging, daun dan bunga dalam ritual pemujaan mereka kala itu. Konsep itu memiliki kesamaan dengan ajaran agama Hindu, yaitu memandang Gunung sebagai tempat suci karena dalam kitab Sivapurana disebutkan bahwa Gunung disebut sebagai sebuah lingga tempat pemujaan yang disebut dengan Linggaphala, matahari dipercaya sebagai perwujudan Dewa Siwa yang menjadi sumber kekuatan dan energi bagi dunia dan segala isinya sehingga disebut sebagai Siwa Raditya, dan penggunaan bunga, daun, buah dalam upakara disebutkan dalam Bhagawadgitha sebagai unsur utama pemujaan kepada Tuhan. Sedangkan penggunaan daging, darah, dan api merupakan kebiasaan leluhur sebagai sarana menolak bala, dan pada ajaran agama Hindu kita kenal sebagai Bhuta Yadnya/ Yadnya Bali, yang dipengaruhi oleh aliran Bhairawa khususnya aliran Tantrayana.Di lokasi Pura Kebo Edan Gianyar banyak terdapat benda peninggalan purbakala. Setidaknya terdapat 55 buah arca yang digambarkan oleh para arkeolog, diantaranya :
- Arca Kerbau Berjongkok, berupa arca seekor kerbau bermuka garang dan beringas seperti kerbau saat marah atau kebo edan. Sebutan “Kebo Edan” yang diberikan pada Pura ini adalah terkait dengan adanya dua Arca yang berbentuk Kebo (kerbau) yang sedang mengamuk.
- Arca Bhairawa Raksasa. Arca digambarkan bermata melotot dan didepannya terdapat hiasan dan mangkok yang berbentuk tengkorak manusia. Arca ini seram jika dilihat.
- Arca Bhairawa Siwa. Arca ini juga digambarkan memiliki wajah seram dan berdaya mistis. Bentuknya tinggi besar sekitar 3,5 meter dan digambarkan menari di atas mayat manusia. Arca ini merupakan sosok Bhairawa yang bersifat Indria atau selalu bernafsu dalam kepuasan duniawi. Arca besar dan tinggi ini pernah mengalami perbaikan pada tahun 1952 oleh Kantor Suaka Purbakala Bali.
- Arca Ganesa. Adalah arca berkepala gajah yang lebih dikenal dengan nama Betara Gana.
- Arca Nandi.
- Arca Gajah, dan masih banyak yang lainnya dalam kondisi sudah rusak.
Pada Pura Kebo Edan langgam arca yang ada di sana menunjukkan perpaduan gaya kerajaan Kediri, Singosari, dan juga ada gaya Kerajaan Bali Kuna. Bentuk arca Kerajaan Bali Kuna ditunjukkan pada arca-arca penjaga yang ada di pura, dan langgam arca Siwa Bhairawa, dan arca-arca praktek Tantra yang ada di Pura Kebo Edan menunjukkan gaya Kediri-an dan Singasari. Adapun ciri yang mengindikasikan adalah adanya ukiran-ukiran yang rumit, naturalis, dan menggunakan ukiran-ukiran yang banyak mencirikan gambar-gambar alam seperti, sulur-sulur dan bunga-bungaan. Pengaruh kerajaan Singosari yang ditunjukkan pada arca tersebut ditunjukkan pula pada bentuk-bentuk arca yang menunjukkan adanya praktek Tantrayana, dan juga bentuk-bentuk pemujaan kepada Sakti, yang mana kala itu di Kerajaan Singosari menganut paham Bhairawa dengan praktek Tantrayana tersebut. Sedangkan dari aliran Siwa kita dapat lihat dari adanya arca Nandhi / lembu suci wahana Dewa Siwa, adanya ornamen-ornamen Siwa Shiddhanta seperti Acintya / Sang Hyang Licin, sebagai perwujudan Paramasiwa, adanya arca Ganesha dan Lingga juga menunjukkan adanya pluralisme ajaran di Pura Kebo Edan ini.
Jika kita amati di Pura Kebo Edan ini menunjukkan pernah berkembangnya aliran Bhairawa Bima dengan praktek ajaran Tantrayana yang ditunjukkan pada bentuk-bentuk arca seperti yang dijelaskan di atas, sekte Ganesha yang ditunjukkan dengan adanya banyak ditemukannya arca Ganesha, sekte Pasupata ditunjukkan dengan adanya media pemujaan berupa lingga, sekte Siwa ditunjukkan dengan pemujaan pada dewa Siwa serta ditunjukkan denganornamen-ornamen ke-Siwa-an, sekte Bayu ditunjukkan dengan adanya pelinggih Bhatara Bayu, dan sekte Sora yang ditunjukkan dengan adanya pelinggih pemujaan kepada Dewa Surya. Berdasakan tinggalan arkeologis tersebut, dapat kita lihat bahwa indikator pluralisme yang kami sebutkan di atas tadi mutlak nyata ditunjukkan di Pura Kebo Edan ini. Namun, pada hakekatnya semua sekte di atas merupakan bagian dari ajaran Siwaisme, hanya saja media dan cara pemujaan saja yang membedakannya. Menurut Siwa Purana disebutkan bahwa dewa Siwa memiliki dua aspek yaitu Siwa sebagai Ugra dan Siwa sebagai Santa. Ketika Siwa sebagai Ugra maka digambarkan Dewa Siwa sedang krodha (kearahan) karena adanya pemusatan energi yang luar biasa, dalam rangka mengalahkan musuh-musuh yang menggaggu ketentraman alam semesta. Pemujaan Siwa dalam wujud ugra inilah yang digambarkan sebagai Bhairawa, Bayu, Pasupata, dan pemujaan Dewa Siwa dalam wujud santa (gembira) digambarkan sebagai Siwa Guru, Maheswara, Surya, dan lain sebagainya. Maka dari itulah kami spesifikan pembahasan kami pada bentuk pluralisme pada ajaran Siwaisme (Siwa sebagai Santa) dan ajaran Tantrayana (Siwa sebagai Ugra dalam hal ini adalah Bhairawa).
Berdasarkan penuturan dari pemangku Pura Kebo Edan, disebutkan bahwa dahulunya pura ini terletak di ujung desa Bedahulu, sehingga suasananya sepi dan menimbulkan kesan mistis. Selain itu, letak pura yang diapit oleh sungai-sungai besar, dan wilayah hutan, menyebabkan Pura Kebo Edan ini dijadikan sebagai pura penolak bahaya, untuk menjaga desa dari gangguan makhluk gaib dan bencana alam. Maka dari itulah, wajar saja di Pura ini banyak ditemukan arca Ganesha sebagai dewa wighna-gna yaitu pembasmi apa yang akan mengganggu (Nurkancana, 1998:136). Selain itu, Dewa ganesa juga dipandang sebagai dewa ulun desa yaitu Beliau yang berstana di ujung batas desa sebagai cikal bakal desa (Sedyawati, Edi, 2012: 222). Adanya sebutan lokal yang diberikan kepada manifestasi Tuhan Siwa dalam wujud arca Siwa Bhairawa yaitu Jero Balian, menunjukkan bahwa pura ini digunakan untuk memohon kesembuhan atas berbagai macam penyakkit, baik yang menimpa manusia maupun hewan ternak dan pertanian. Berdasarkan penjelasan dari Bapak Dalem selaku arkeolog memberikan pernyataan bahwa arca-rca yang ada di Pura Kebo Edan tersebut merupakan arca-arca eksitu yaitu arca yang didapatkan dari tempat-tempat yang berbeda dan kemudian dikumpulkan disatu tempat yaitu di pura ini. Suatu hal yang logis, karena pada zaman dahulu sekte-sekte tersebut mungkin saja melakukan pemujaan di tempat-tempat yang berbeda, apalagi sekte Bhairawa dengan Tantrayana-nya tentu saja memilih tempat yang sunyi dan angker. Akan tetapi karena kondisi masyarakat kala itu yang sudah menganut paham Siwa Siddhanta dan adanya penyatuan sekte-sekte di Bali oleh Mpu Rajakerta / Mpu Kuturan maka praktek pemujaan sekte tersebut dihentikan, dan mungkin dari sanalah baru dikumpulkan arca-arca tersebut dalam satu areal pura. Kemungkinan logis lainnya, karena mungkin ditempat itu dipandang angker dan penuh bahaya maka seluruh arca yang dipercaya memiliki kekuatan menolak marabahaya seperti Ganesha, Siwa Bhairawa, dan arca raksasa tersebut dikumpulkan disatu tempat dengan harapan arca tersebut dapat menurunkan kekutan Tuhan ke dunia untuk menolak marabahaya dan petaka.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, maka kami dapat menyimpulkan bahwa pluralisme yang ada di Pura Kebo Edan memiliki motivasi spiritual tertentu yang ada kaitannya pada suatu kepercayaan masyarakat untuk memadukan kekuatan Tuhan dalam satu area pemujaan. Motivasi spiritual yang didukung dengan adanya sugesti spiritual dan pemahaman spiritual tersebut, mendukung pernyataan kami bahwa Pura Kebo Edan merupakan suatu areal pemujaan yang menunjukkan suatu toleransi dan kesatuan tujuan untuk memuja kebesaran Tuhan (Siwa) dalam berbagai aspeknya, tanpa membedakan sekte dan cara pemujaannya.
Yang harus kita garis bawahi dari konsep pluralisme ajaran di Pura ini adalah bagaimana leluhur dan para guru suci kita dahulu mengakomodir semua kepercayaan lokal dan sekte-sekte yang berkembang dahulu di Kerajaan Bali Kuna tersebut sehingga dapat hidup harmonis dan saling mendukung terwujudnya suasana kondusif di kerajaan baik secara sekala maupun niskala. Sekte dan kepercayaan tersebut kemudian dipersatukan dalam sebuah areal Pura ini, merupakan suatu bentuk saling hormat menhormati perbedaan tersebut yang sudah ditanamkan oleh leluhur orang Bali dari sejak zaman dahulu kala. Seperti pada pembahasan sebelumnya seluruh sekte-sekte yang ada tersebut pada dasarnya merupakan bersumber dari ajaran Siwaisme karena tujuan akhirnya adalah penyatuan diri kepada Siwa (Tuhan Yang Maha Esa) itu sendiri. Akan tetapi, secara umum bentuk pemujaan Siwa Siddhanta dan Bhairawa Tantra sangat mendominasi sistem religi dan praktek keagamaan masyarakat Bali Kuna saat itu. Adanya dominasi pemujaan kepada Siwa dan Bhairawa dengan jalan Tantrayana saat itu sangat mungkin terjadi karena pengaruh kerajaan Kadiri-Singosari (Jawa) dengan konsep Bairawa Tantra-nya cukup lama dianut oleh masyarakat Bali Kuna.
Kemudian setelah adanya keputusan Samuan Tiga tersebut barulah terjadi penyempurnaan terhadap ajaran Siwa Siddhanta di Bali, dan terus mengalami penyempurnaan hingga saat ini kita warisi. Selain alasan tersebut, kondisi masayarakat Bali Kuna yang masih serba terbatas dan dalam kondisi bahaya, maka pemujaan kepada Bhairawa sebagai sarana penolak marabahaya (tolak bala) sangat dominan dilaukan di masyarakat, guna menjaga keselamatan negara dan keamanan rakyat. Sedangkan pengaruh Siwa sendiri juga sejatinya sangat tinggi, karena merupakan landasan dasar dalam sistem religi yang berkembang di kerajaan Bali Kuna hingga saat ini. Maka dari itu pemujaan kepada Siwa dilakukan sangat diutamakan, yaitu dengan menstanakan Dewa siwa di Pura ini. Berdasarkan kedudukan dan fungsinya Pura ini termasuk Sad Kahyangan dan Padma Bhuana yang berada di wilayah tengah yang merupakan stana dari Dewa Siwa itu sendiri. Hal itu yang menunjukkan bahwa keberadaan Pura ini merupakan pura pemersatu pluralisme umat dalam sebuah payung spiritual yaitu Siwa Siddhanta itu sendiri.
Pluralisme ajaran Siwaisme dan Bhairawa Tantra yang ada di Pura Kebo Edan dan Pura Pusering Jagat ditunjukkan dengan ditemukannya berbagai macam arca perwujudan dewa dari beberapa sekte yang berkembang di Kerajaan Bali Kuna. Kedua Pura tersebut memiliki arca yang bercorak Siwa Siddhanta, sekte Ganesha, PaĆupata, Waisnawa, Brahma, dan Bhairawa Tantra. Keberadaan arca yang bercorak sekte-sekte yang berbeda di sebuah areal pura menunjukkan adanya suatu pluralisme dalam sistem religi namun terdapat suatu toleransi yang tinggi antara sekte yang satu dengan yang lainnya. Pluralisme yang ditunjukkan pada Pura Kebo Edan dan Pura Pusering Jagat-Pusering Tasik menunjukkan fungsi infrastruktur religi dalam suatu sistem religi pada Kerajaan Bali Kuna, dalam hal ini adalah kedua Pura tersebut berfungsi untuk membina kerukunan dan mempersatukan masyarakat Pujawali atau piodalan di Pura Kebo Edan di Pejeng ini setiap 6 bulan sekali, bertepatan dengan hari Tumpek Kandang.