Sejarah Pura Dalem Tamblingan
Om Swastiastu SemetonTahun 1987, para peneliti dari Balai Arkeologi Denpasar melakukan penelitian pada lempengan prasasti tembaga yang ditemukan Pan Niki, warga dari Desa Wanagiri, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, saat yang bersangkutan melakukan penggalian di pinggir sebelah timur danau, dekat Pura Dalem Tamblingan. Hasil penelitian memperlihatkan prasasti itu berbahasa Jawa Kuno, kira-kira pada zaman Majapahit, sezaman dengan prasasti yang tersimpan di Pura Tuluk Biyu, Desa Batur, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli.
Prasasti temuan Pan Nitri lebih banyak memuat perintah penguasa di Majapahit yang ditujukan kepada Pande Besi di Tamblingan, agar kembali ke desa semula untuk bekerja, dan pejabat jangan mengganggu.
Dalam terkaan Gusti Suarbhawa, ada kemungkinan para penguasa di Bali pasca penundukan oleh Majapahit, mengganggu keberadaan warga Bali Kuno, termasuk karaman i Tamblingan yang berprofesi sebagai pande besi, sehingga mereka memilih keluar dari desa aslinya. Guna menjaga keamanan dan kenyamanan penduduk asli di Tamblingan, maka penguasa Majapahit pun mengeluarkan sejenis surat perintah dalam bentuk prasasti.
Tak hanya tinggalan prasasti, bukti lain yang bisa menjadi penguat adalah bahwa di sekitar danau ini pernah ada kehidupan masyarakat Bali purba, dengan ditemukannya berbagai peninggalan. Mulai dari tempat suci, seperti Pura Dalem Tamblingan dengan peninggalan berupa Celak Kontong Lugeng Luwih berbahan batu yang hingga kini tersimpan di Pura Dalem Tamblingan. Celak Kontong Lugeng Luwih diyakini sebagai simbol kesuburan. Kemudian ada Pura Endek, Pura Tajun, Pura Embang, Pura Sanghyang Kauh, dan tempat suci lain yang