Tradisi Bakar Kemenyan
“Asep menyan majegau cenana ngundang dewane”. Kidung suci Wargasari terdengar sayup-sayup menyapa kalbu. “Apinya menjadi saksi yang agung. Asapnya membumbung ke angkasa, menghantarkan bakti yang tulus kepada para leluhur dan para dewa di “sunia taya”. Semerbak wanginya membukakan “pintu kayangan”, para Dewa pun berkenan.Manusia lugu”nusantara menyampaikan puja kepada Hyang Maha Kaweruhan. Menghubungkan dua dimensi dunia, sekala (nyata) dan niskala (maya) yang sejatinya satu. Ini hanya dapat dipahami dengan “kemulyaan hati”, dimengerti dengan “keluhuran budi”, serta dirasakan dengan “kecerdasan naluri”. Para waskita menggunakan asapmenyan sebagai “jembatan jiwa”, agar masyarakat awam dapat memahami dan bisa melakukannya.
Dimana kemenyan majegau cendana dibakar, di sana para leluhur, para ancangan, dan para dewa berkenan hadir. Bukan memanggil jin setan. Bukan sesat dan bukan pula “kebodohan”. Ini “kecerdasan spiritual”, menerjemahkan suatu yang rumit menjadi sederhana.
Ketika asapmenyan majegau memberi ketentraman hati, tandanya para Dewa berkenan. Saat asapmenyan memberikan rasa suka cita di hati, cirinya para leluhur hadir. Penganut kesejatian leluhur tak penting berdebat panjang tentang ini. Namun, ketika asapmenyan majegau cendana digugat, dicemoh apalagi dilarang, maka Sang Bhuta Ode-ode (raksasa gundul) akan merasuki mereka. Kacau pikirannya, ngawur bicaranya dan beringas lakunya.Disadari atau tidak, tradisi bakar kemenyan makin digemari. Wanginya telah merasuk ke sudut – sudut ruangan di seluruh dunia sebagai “aroma terapi”. Konon memberikan kedamaian hati, kententraman jiwa, vibrasi positif, dll. Demikian masyarakat internasional memberi “testimony” terhadap aroma terapi yang akar mulanya adalah tradisi bakar kemenyan majegau cendana.Artinya “asap sejarah” telah mencari bentuknya sendiri. Ampura.